Tetapi, yang namanya keinginan tidak selalu terwujud. Pernah juga Krisna ingin televisi yang jadi hadiah juara ketiga, karena TV di rumah rusak. Tetapi, ternyata ia malah jadi juara pertama dengan hadiah meja gambar, dan tentu saja harganya lebih mahal. “Ia agak kecewa, menyesal kenapa manggambar bagus. Kalau sudah begitu, saya kan nggak bisa apa-apa. Saya bilang kalau prestasinya bagus,”Soal hadiah, ‘kan bisa dijual beli tv,: cerita Martin tertawa.
Kompetisi tidak berarti harus menjadi juara. Kekalahan juga bagian dari makna kompetisi itu sendiri. Itu sebabnya Martin kadangkala sengaja mengikutsertakan kedua anaknya dalam lomba lukis yang ia perkirakan anak-anaknya kalah. “Saya paling tidak suka kalau mereka mau berangkat lomba bilang, ‘Saya pasti menang,deh…’ Kalau mereka ngomong seperti itu, biasanya saya akan ikut mengantar. Soalnya, tidak tahu mengapa, kalau saya mengantar, pasti mereka kalah. Mungkin karena mereka jadi tidak konsentrasi, atau memang kebetulan. Entahlah,” ujar ayah yang senang memasak untuk keluarga sebagai pengabdiannya ini.
Kecewakah anak-anak itu bila kalah berlomba? “Tergantung. Kalau kalahnya fair, artinya lukisan anak yang menang memang lebih bagus, mereka bisa menerima kekalahan itu. Tetapi kalau kalahnya tidak wajar, anak-anak ya kecewa, meskipun kami tidak bisa berbuat apa-apa.” Kekalahan tidak wajar itu misalnya saja karena juri dipengaruhi panitia, sengaja mengalahkan anak yang memang sering menang lomba karena biasanya para peserta lomba lukis memang anak yang itu-itu saja,atau juri sengaja memenangkan anak yang ikut sanggar lukis tertentu, sementara Kiki dan Krisna tidak ikut sanggar manapun. “Karena itu, orang tua juga perlu membuat taktik seperti ganti-ganti nama atau mencari tahu selera juri agar anak tidak dicurangi. Bukannya saya ingin anak menang terus, tetapi kalau kekalahan itu tidak fair’ kan kasian si anak yang sudah berjuang.”
Satu hal yang penting untuk mengembangkan bakat dan minat anak adalah memberikan sarana yang layak. Artinya,”Karena saya memang ingin membebaskan mereka menggambar, kami ya harus mau berkorban membelikan peralatan gambar yang harganya tidak murah. Begitu juga dalam mengantar mereka ikut lomba kesana kemari. Itu adalah salah satu bentuk dukungan kami sebagai orang tua.”
Tidak adakah kesulitan Martin mengembangkan bakat dan minat anak-anaknya ini? “Tentu saja ada. Misalnya saja, Krisna itu lebih berbakat daripada Kiki. Tetapi dia itu angin-anginan. Kalau sedang ikut lomba misalnya terus melihat mainan yang menarik perhatiannya atau ada dongeng di sekitar tempat lomba, ya sudah konsentrasinya jadi buyar..” Kalau sudah begini, Martin hanya bisa menasihati Krisna untuk konsekuen terhadap keinginannya ikut lomba. “Saya juga tidak bisa memaksa, karena tujuan mengembangkan bakat anak-anak itu kan bukan semata-mata untuk lomba, tetapi juga untuk kebebasan berekspresi mereka, karena itu hak yang paling azazi”.
Tiap anak memang memiliki karakter berbeda. Kalau dulu Kiki bisa menerima kekalahan, tidak demikian halnya dengan Krisna, apalagi bila kakaknya menang. Ia akan menangis, meskipun dipinjami piala kakaknya atau disuruh mewakili menerima hadiah. “Krisna tidak pernah mau, karena tahu kakaknyalah yang menang. Ya sudah, kami mendiamkan saja, karena dia kan mesti tahu bahwa tidak selamanya harus menang”. Sekarang, kedua anak ini sudah tahu bahwa dalam kompetisi itu ada yang menang dan ada yang kalah. Yang pasti, mereka telah berusaha optimal. Mungkin seperti itu pula kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar